"Kamu jangan pernah bermimpi untuk sukses. Kamu hanya seorang tuna netra dan hanya pantas menjadi tukang pijat" ujar seorang pekerja sosial di sebuah panti tuna netra kepadaku. Ucapannya membuatku berhasil membuktikan bahwa Aku bisa sukses dan berhasil mematahkan stigma bahwa para difabilitas adalah kaum yang lemah. Kisah sejatiku yang meraih impian sebagai seorang pemimpin redaksi sebuah media dengan segala keterbatasanku. Kebutaan tak bisa mengambil ambisi dan semangatku.
Pintu pesawat yang kutumpangi dari perjalanan dinas Singapur ke Jakarta baru saja terbuka. Udara dingin malam itu terasa menusuk tulang rusukku. Kubergeggas mengambil koperku dan melangkahkan kaki untuk pulang dari bandara Soekarno Hatta yang masih saja terlihat penuh sesak dengan orang yang hilir mudik. Rasa lelah yang teramat sangat menyerang tubuhku yang baru saja bertugas menemani para awak media di negara Singapura selama lima hari dalam sesi peluncuran produk sebuah alat elektronik tempatku bekerja sebagai seorang Public Relations sebuah brand ternama. Tak mudah menjadi seorang humas karena selalu harus tampil prima karena selalu membawa nama baik sebuah merek yang menjadi tanggung jawabku. "Mau dipanggilkan taksi, Pak?" ujar seorang petugas bandara dengan ramah kepadaku. "Oh tak usah, mas. Saya kebetulan sudah dijemput oleh supir kantor saya" jawabku tak kalah ramahnya dengan senyum manis. Tak ada hitungan menit, tiba-tiba kepala bagian kiriku terasa berat dan Aku mendadak pusing. Aku segera mencari tempat duduk yang ada didekatku untuk beristirahat sejenak. Ah mungkin Aku hanya sedikit lelah saja karena tiga hari terakhir memang Aku harus banyak bekerja hingga larut malam. Oh Tuhan, mata kiriku mendadak gelap dengan pandangan yang kabur. Aku hanya mampu memandang sekelililingku dalam jarak pandang yang sangat dekat dengan mengandalkan mata kananku yang masih dapat melihat. Aku panik sejadi-jadinya dan tak tahu harus berbuat apa malam itu. Aku lari menuju kamar kecil untuk membasuh wajah dengan harapan semoga siraman air mampu menetralisir rasa pening dikepalaku. Suuuuuur, air segar mulai menyentuh relung rongga pori kulitku. Rasa segarnya air tetap tak membuat mata kiriku melihat kembali. Oh Tuhan, apa yang terjadi dan apa yang harus kuperbuat dengan kondisi mataku ini, batinku penuh harap dengan jutaan rasa marah, kesal dan putus asa yang dalam. Aku hanya ingin berteriak malam itu juga. Baik, tenang saja semua akan baik-baik saja, suara hatiku terdengar membuat perasaan ini sedikit lebih baik. Aku segera bergegas pulang menuju rumah dan mulai mencari pertolongan dari keluargaku. Jalanan kota Jakarta dengan lampu-lampu indahnya di malam itu saat perjalanan menuju rumahku tak mampu menentramkan hatiku yang tengah kalut. Sesampainya di rumah Aku mulai menceritakan semua kronologi mengenai sebab mengapa mata kiriku menjadi buta. "Ya sudahlah, sekarang Kamu istirahat saja. Besok pagi Kita langsung ke klinik mata terdekat untuk menjawab semua keluhan atas matamu. Semoga semua baik-baik saja ya" sahut kakak tertuaku ketika itu. Jujur tak ada seorang pun yang bisa tertidur nyenyak dengan jutaan tanya dan kebimbangan seperti yang tengah kualami malam itu. ***
Bagaikan petir di siang hari, diagnosa seorang dokter ahli di sebuah klinik rumah sakit mata membuat tubuhku terasa kaku. "Pak Hendro, maaf dari hasil tes yang sudah kita lakukan selama satu hari ini Kami menyimpulkan bahwa Bapak mengalami glukoma. Saat ini mata kanan Bapak yang masih bisa melihat kemungkinan akan mengalami kemunduran penglihatan dengan berjalannya waktu dan tampaknya sudah terlambat untuk mendapatkan pencegahan karena glukoma Bapak sudah cukup akut" ujar sang Dokter. Hatiku tertegun mendengar semua itu. Semua kakak yang mengantarkanku memeriksakan diriku hari itu terlihat tengah menyembunyikan kesedihan Mereka. Oh Tuhan, apa yang harus Aku perbuat dengan kondisiku ini. Ditengah puncak karir kesuksesanku mengapa semua harus terjadi dan harus berakhir seperti ini. Pikiran untuk menyudahi nyawa serta hidupku adalah hal yang berkecamuk dikepalaku saat itu. Aku menjadi pemurung dan mudah tersinggung. Kulepaskan pekerjaan dan karirk yang telah kubangun dari kecil dan harus meratapi semua di dalam kamar. Aku mulai tak peduli dengan dunia luar, bahkan jutaan telepon, pesan singkat maupun email tak kuhiraukan sedikitpun. Ya Aku mulai menarik diri dari pergaulanku. Tak ada lagi Hendro yang periang, lucu dan selalu menyebarkan semangat kepada semua orang disekitarnya. ***
Namaku Hendro. Aku dibesarkan di sebuah keluarga besar yang amat menyayangiku. Meskipun Aku terlahir sebagai anak angkat, namun rasa cinta kedua orang tua angkat serta kedelapan kakak angkatku lebih besar daripada apapun di dunia ini. Aku tak pernah mengenal kedua orang tua kandungku. Ibu wafat saat beberapa hari setelah melahirkanku dan adik kembar perempuanku. Ayah kemudian memutuskan untuk menikah lagi tanpa berniat membawa Kami serta dan menitipkan kedua buah hatinya kepada dua keluarga yang berbeda. Ya, Aku dan adik kembar perempuanku memang tak pernah bersua sejak bayi hingga detik ini. Tak apalah, karena Aku masih tetap merasakan rasa cinta yang luar biasa dari keluarga angkatku dan para sahabatku. Hendro kecil tumbuh sempurna dan mengalami masa kecil yang amat menyenangkan di sebuah pemukiman padat penduduk di bilangan Jakarta Pusat. Ia sangat aktif dan pintar. Tingkahnya yang kritis dan sok tua semakin membuat semua orang gemas dan sayang kepadanya. ***
Aku menatap langit kamar dengan tatapan kosong hanya dengan mengandalkan mata kananku yang masih berfungsi. Meski melihat, mata kananku tetap tak bisa memandang suatu objek dari jarak pandang normal atau keadaan gelap karena kondisinya memang tengah mengalami penurunan penglihatan dari hari ke hari. Aku harus mengakhiri hidup ini. Menjadi buta bukanlah impianku atau impian semua orang. Tak ada yang bisa kuperbuat dengan mata yang buta, pikirku saat itu. Entah darimana datangnya ide gila tersebut, niat menyudahi hidupku dengan segelas racun serangga kian bulat dikepalaku. Tanpa sempat mengucapkan maaf kepada siapapun malam hari itu, Aku mulai melakukan sebuah ritual kecil yang sungguh konyol dan tak dapat diterima oleh akal sehat. Aku mulai menuang cairan racun serangga itu ke dalam gelas hingga penuh. Buih dan busanya kian mengajakku untuk segera pergi dari kehidupan ini. Tak ada lagi seorang Hendro yang selalu pantang menyerah. Seketika ingatanku melayang ke beberapa tahun lalu ketika Aku memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah keluarga angkatku untuk dapat hidup mandiri selepas menamatkan bangku sekolahku. Aku yang tak dapat melanjutkan bangku kuliah karena tak memiliki biaya, terpaksa cukup tahu diri untuk tidak membebani keluarga angkatku dan memutuskan untuk bekerja saja. "Ma, Endo minta maaf karena Endo harus pergi dari rumah karena harus membiasakan hidup mandiri dengan bekerja. Syukur bisa kuliah lagi dan Endo janji akan kirim uang buat Mama jika Endo sudah dapat penghasilan" ujarku kala itu kepada Mama angkatku yang tampak sedih melihatku berpamitan. Aku memang dipanggil dengan sebutan Endo di keluargaku. Betapa besar rasa sayang Mereka sungguh tak mampu kubayar dengan harta yang kudapat saat ini. Aku habiskan waktuku dengan bekerja banting tulang dengan menjadi tukang cuci piring, pelayan restoran hingga pramuniaga toko. Aku pun harus membagi uang gajiku yang tak seberapa waktu itu dengan membayar uang rumah kontrakan kecil, biaya hidup dan uang kursus ketrampilan komputer dan bahasa Inggris. Ya walau hidup seadanya, tapi Aku tetap harus meningkatkan ketrampilanku agar membantu karirku di masa depan, itulah pikirku saat itu. Puluhan pekerjaan kujalani. Jutaan pujian dan prestasi kuraih di tempatku bekerja karena memang kinerja serta kedisiplinanku cukup tinggi sehingga para atasan amat menyayangiku. Tak heran sikap inilah yang membuat para rekan sekerja kerap menyimpan rasa iri. Suatu hari Aku difitnah mencuri barang yang dijual di toko tempatku bekerja agar Aku dipecat dari perusahaan. Dengan rasa sedih dan mengalah, akhirnya Aku terpaksa mengundurkan diri dari tugasku sebagai pramuniaga toko. Tuhan maha tahu dan maha adil, akhirnya Aku diterima bekerja sebagai seorang reporter dengan gaji yang lebih besar daripada penghasilanku sebagai seorang pramuniaga toko. Ya inilah awal karirku sebagai seorang jurnalis dimulai. Dunia kepenulisanlah yang mengantarkanku ke gerbang kesuksesanku sebagai seorang penulis, editor, copy writer dan segudang pengalaman lain yang amat kucintai. ***
Tekadku dengan menenggak segelas racun tak urung kulakukan. Saat bibirku yang kering dan kelu berciuman dengan sisi gelas itu mendadak tubuhku menjadi nyeri. Sekujur tubuhku basah oleh siraman keringat dingin yang tak tahu apa sebabnya. Demam tinggi dan meriang kian menggigilkan badanku hingga panas tinggi kurasakan di peluhku. Aneh, padahal semenit yang lalu Aku merasa sehat namun sekarang Aku setengah tak sadarkan diri. Kakak keduaku yang malam itu tengah berkunjung panik dan segera melarikanku ke sebuah rumah sakit untuk mendapat pertolongan pertama. Aku tak sadarkan diri. Aku terbangun dengan beberapa tusukan jarum infus di seluruh pergelangan tangan dan kakiku. Aku hanya tergolek lemas di kamar kelas tiga sebuah rumah sakit. Bangsal pengobatan yang berbau obat yang memualkan sungguh membuatku muntah berkali-kali. Tragisnya, asupan bubur halus atau air sekalipun tak mampu diterima saluran pencernaanku. Rasa mual akibat pengaruh obat membuat Dokter terpaksa memasang selang makanan dari hidung menuju lambungku yang perih. Aku sudah buta. Kedua mataku tak terselamatkan lagi. Hanya pendengaran yang kuandalkan sejak saat itu. "Kami tidak bisa berbuat apapun untuk kedua matanya, tapi jangan khawatir setidaknya setelah perawatan ini tubuhnya bisa pulih dan sehat kembali" Aku mendengar sayup-sayup seorang Dokter berkata halus kepada salah satu kakaku yang tengah duduk disamping ranjang tempatku berbaring di rumah sakit itu. Ya, Aku memang pekerja keras sampai tidak pernah memperhatikan kesehatanku selama ini hingga akhirnya para Dokter terpaksa memulihkan kondisi kesehatanku yang ada dibawah tingkat nol. Tak apalah, walau mataku tak melihat tapi tubuhku bisa sehat kembali. Aneh, Aku merasa Tuhan belum menghendakiku untuk mati saat itu juga. Mungkin Ia sudah punya rencana hebat dan lebih baik untukku. Tubuhku tetap mati rasa. Semangat baru kemudian muncul di hari ke-17 selama perawatanku di rumah sakit. Aku yang lemah mulai belajar untuk menggerakan jariku sendiri. Setiap hari Aku belajar berdiri dan terjatuh. Aku tak boleh menyerah dengan keadaan. Terima kasih Tuhan, akhirnya Aku bisa berdiri dan berjalan sendiri menuju kamar kecil rumah sakit tanpa kursi roda dan bantuan orang lain. Selang makanan pun sudah dilepas sehingga Aku bisa makan dengan normal karena Aku memaksakan diriku untuk bisa segera sembuh dan pulang ke rumah. Selang infus yang jumlahnya sangat banyak pun satu-persatu mulai dilepas. Dokter pun terheran-heran melihat kondisiku yang pulih lebih cepat dari yang Mereka duga. Aku tersenyum bangga saat melangkahkan kakiku pergi keluar dari rumah sakit tersebut. ***
Aku tak memiliki banyak waktu lagi. Aku harus bergerak maju dan bangkit dari keterpurukan ini. Seakan ada angin segar menerpa wajahku, semangat baru kian kurasakan setibanya Aku di rumah. Tak perlu menunggu waktu lama, akhirnya Aku memotivasi diriku sendiri dengan mencari sebuah Plan B atau rencana lain dalam hidupku. Dengan berbekal ponsel, Aku mulai mencari dan menghubungi semua yayasan dan panti sosial tuna netra dengan bantuan nomer 108, nomer pusat informasi via telepon. Aku mulai menyeleksi satu-persatu panti sosial tersebut dan mencari kurukulum yang tepat untukku sehingga Aku dapat sebuah bekal ketrampilan untuk mencari nafkah. Keputusan akhir kuambil. Sebuah panti sosial di bilangan Bekasi menjanjikan sebuah kurikulum pelatihan yang sangat lengkap untukku, mulai dari ketrampilan musik, wirausaha, komputer hingga memijat. Ya, Aku harus pindah dan hidup di asrama untuk mendapatkan pelatihan selama 2 tahun disana. Aku berpamitan kepada keluargaku untuk menjalani hidup baruku sebagai penghuni asrama. Kejutan, Aku harus membiasakan hidup dengan ratusan orang tuna netra di asrama tersebut. Kehidupan yang serba tenggang rasa membuatku menjadi lebih kuat karena selama ini Aku terbiasa dengan kehidupan yang serba individualis. Lika-liku kehidupan asrama kudapati disana. Sampai akhirnya Aku menemukan bahwa kurangnya tingkat ketrampilan serta pelatihan yang diajarkan sehingga mempersempit peluang usaha para difabilitas untuk mandiri. Tak seperti yang dijanjikan, Aku hanya memperoleh pendidikan memijat saja dimana Kami para siswa memang dibentuk untuk menjadi seorang ahli pijat saja, tanpa adanya bidang lain yang bisa dijajaki. Sungguh, ketidakadilan inilah yang membuatku bersemangat untuk mematahkan stigma bahwa tuna netra hanya pantas menjadi seorang tukang pijat. Sikap pemberontak dalam diriku mulai melakukan sebuah gerakan gerilya secara diam-diam dengan membantu siswa lain belajar bahasa Inggris, penulisan kreatif dan jurnalistik sampai ketrampilan kewirausahaan. Semua kegiatan itu Aku lakukan secara sembunyi-sembunyi di waktu malam hari atau di hari libur dimana ketika semua pekerja sosial tengah asyik beristirahat di rumah Mereka masing-masing. Apa yang kulakukan secara cuma-cuma tersebut hanya ingin para sahabat difabilitas memiliki peluang yang lebih besar untuk mandiri dan mencari nafkah suatu hari kelak. Kegiatan itu akhirnya terbongkar dan Aku dipanggil oleh seorang pekerja sosial. Dengan entengnya, Ia mulai memakiku, "Kamu jangan pernah bermimpi. Kamu hanyalah seorang tukang pijat. Kamu lebih baik pergi dari asrama ini jika terus memberontak" ujarnya kepadaku. Sungguh perkataannya yang menyakiti hatiku menjadi sebuah semangat besar dalam hidupku bahwa Aku seorang tuna netra pun mampu mandiri tanpa harus menjadi tukang pijat. Manuver besar akhirnya kupilih. Di pertengahan tahun 2012, Aku memutuskan keluar dari asrama dan mencari jati diri baru sebagai seorang penulis lepas. Ya, hidup memang penuh resiko dan Aku bangga menjadi orang yang selalu tahu apa yang kumau. ***
Dan disinilah Aku hari ini. Di tengah kesibukanku sebagai seorang Editor in Chief atau pemimpin redaksi sebuah online digital media yang dibaca di lebih dari 5 negara di dunia. Kecintaanku akan dunia kepenulisan dan perkembangan teknologi membuatku bekerja keras untuk situs www.frilby.com, sebuah situs yang kuharapkan mampu memberikan manfaat banyak bagi orang lain. Selain itu, rasa besarku akan kepedulian kepada sahabat difabilitas, membuatku menerima ajakan seorang pendiri situs komunitas online dan wadah ketrampilan difabilitas untuk bergabung bersamanya di www.kartunet.com sebagai seorang Editor. Semoga ini merupakan jalan bagiku untuk membantu para sahabat difabilitas dengan berbagai program pelatihan dan ketrampilan. Kegiatan senggangku kerap kuhabiskan dengan menulis buku dan saat ini Aku tengah menulis buku keduaku. Ya, rasa cintaku yang besar terhadap dunia jurnalistik dan kepenulisan membuatku tak pernah berhenti menyerap informasi serta menulis rangkaian kata yang kutuang dalam bentuk jurnal, artikel maupun sebuah buku. Bahkan, hobiku menulis sampai-sampai bisa membuatku betah berlama-lama di depan komputer maupun hanya dengan media ponsel. Ya, cerita kisah sejatiku yang sedang Kalian baca ini adalah sebuah rangkaian goresan kata yang kutulis hanya dengan menggunakan sebuah telepon genggam usang milikku. Tulisan ini Aku persembahkan untuk Hari Difabilitas yang jatuh tanggal 3 Desember. Semoga semangatku dapat membangkitkan gairah para sahabat difabilitas untuk terus berkarya dengan segala kekurangan dan keterbatasan. Ya, selalu banyak cara untuk meraih sebuah impian dan kebutaan tak akan pernah bisa mengambil ambisi dan semangatku sampai akhir hayatku. *** Sekian
0 coemntar kalian:
Posting Komentar
peraturan komentar
1. pasang link kalian jika berkomentar di blog ini sehingga saya bisa visit back blog kalian
2. dilarang spam di blog ini
3. dilarang komentar yang berbau sara
4. follow my blog and i will follow back
5. saling tukeran link banner