Perjanjian Secara Umum
2.1.1 Pengertian Perjanjian
Pasal 1313 KUH Perdata, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :
Perbuatan
Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;
Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih
Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.
Mengikatkan dirinya
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.
2.1.2 Syarat Sah Perjanjian
Agar suatu perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 KUH Perdata); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 KUH Perdata). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.
Dalam ranah perjanjian sewa menyewa, misalnya, dengan kata sepakat berarti pihak yang satu ingin menyewa sedang pihak yang lain menghendaki ingin menyewakan sesuatu secara timbal balik, misalnya si penjual menginginkan sejumlah uang dan si pembeli menginginkan barang yang dijual.
Cakap untuk membuat perikatan;
Ketidakcakapan seseorang dalam membuat perjanjian ditentukan didalam Pasal 1330 KUH Perdata, yaitu:
Orang-orang yang belum dewasa
Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Seseorang yang hendak membuat perjanjian harus cukup mempunyai kemampuan, untuk mengisyaki tanggung jawab yang dipikul atas perbuatannnya tersebut. Seseorang yang membuat perjanjian berarti memperoleh hak miliknya. Orang tersebut harus orang yang sungguh-sungguh berbuat bebas dengan harta miliknya. Orang yang ditaruh di bawah pengampunan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta miliknya, karena berada di bawah pengampunannya. Jika ingin membuat perjanjian harus dengan persetujuan pengampunannya. Seorang perempuan yang telah menikah memerlukan ijin dari suaminya (kuasa tertulis) jika hendak mengadakan suatu perjanjian, ketidakcakapan perempuan yang telah menikah pada KUH Perdata ada hubungannya dengan sistem pada hukum perdata Barat, khususnya hukum perdata Belanda, seperti dalam Pasal 108 dan 110 KUH Perdata.
Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 KUH Perdata).
Suatu hal tertentu;
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 KUH Perdata menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 KUH Perdata barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
Suatu sebab atau causa yang halal
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.
“Sebab yang halal”, isinya perjanjian antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya hendak memenuhi tujuan persetujuan yang disepakati tersebut. Jika bertentangan dengan UU, ketertiban umum dan kesusilaan maka tujuan perjanjian tersebut adalah tidak halal (Pasal 1337 KUH Perdata). Dengan demikian seperti Pasal 1339 KUH Perdata yang menyatakan bahwa persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu menurut sifatnya persetujuan diharuskan oleh kepatuhan, kebiasaan dan UU.
2.1.3 Akibat Perjanjian
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa “Semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dari Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa. Akibat dari pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata tersebut melahirkan apa yang disebut pada ayat (2) terssebut, yaitu suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak keuali dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
2.1.4 Asas-Asas Hukum perjanjian
Menurut Purwahid Patrik didalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Hukum Perikatan, beliau mengutip pendapat Rutten mengenai azas-azas hukum perjanjian yang diatur dalam pasal 1338, ada 3 unsur yaitu :2
Azas, bahwa perjanjian yang dibuat itu pada umumnya bukan secara formil tetapi konsensual, artinya perjanjian itu selesai karena persesuaian kehendak atau konsensus semata-mata, disebut azas konsensualisme.
Azas, bahwa pihak-pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak, maka disebut azas kekuatan mengikat dari perjanjian.
Azas kebebasan berkontrak, orang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat perjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih undang-undang mana yang akan dipakainya untuk perjanjian itu.
Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Suatu perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga.
2.1.5 Berakhirnya Perjanjian
Suatu perjanjian dikatakan berakhir karena sebab-sebab berikut:3
ditentukan oleh para pihak berlaku untuk waktu tertentu;
undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian;
para pihak atau undang-undang menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka persetujuan akan hapus. Peristiwa tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa (overmach) yang diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, misalnya karena adanya gempa bumi, banjir, lahar dan lain-lain.
pernyatan menghentikan persetujuan (opzegging) yang dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak pada perjanjian yang bersifat sementara misalnya perjanjian kerja:
putusan hakim;
tujuan perjanjian telah tercapai;
dengan persetujuan para pihak (herroeping)
2.1.6 Jenis-Jenis Perjanjian
Adapun jenis-jenis perjanjian menurut Volmar adalah:4
Perjanjian timbal balik, timbal balik tidak sempurna, dan sepihak
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian dimana kedua belah pihak timbul kewajiban pokok, seperti jual beli, sewa menyewa, penjual harus menyerahkan barang yang dijual, sedangkan pembeli membayar harga dari barang itu, yang menyewakan berkewajiban memberikan kenikmatan dari barang yang disewakaan, penyewa membayar harga sewanya.
Perjanjian timbal balik tidak sempurna (perjanjian dua pihak secara kebetulan) dimana salah satu pihak timbul prestasi pokok sedangkan pihak lain ada kemungkinan untuk kewajiban sesuatu tanpa dapat dikatakan dengan pasti bahwa kedua prestasi itu adalah seimbang.
Perjanjian sepihak adalah salah satu pihak saja yang mempunyai kewajiban pokok, contohnya perjanjian pinjam pakai.
Perjanjian dapat dibuat dengan cuma-cuma atau dengan alas hak yang membebani.
Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dimana prestasi dari pihak yang satu selalu ada kontra prestasi dari pihak lain, kedua prestasi itu adalah saling berhubungan. Perjanjian denngan cuma-cuma adalah perjanjian dimana menurut hukum salah satu pihak saja yang menerima keuntungan.
Perjanjian obligatoir dan perjanjian kebendaan
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk menyerahkan hak milik (hak Eigendom). Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang mneimbulkan perikatan yang meletakkan kewajibaan kepada kedua belah pihak.
Perjanjian konsensuil dan riil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang berdasar kesepakatan atau persesuaian kehendak, sedangkan perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang terjadi tidak hanya berdasar persesuaian kehendak saja, tetapi ada penyerahan nyata.
2.2 Perjanjian Sewa Menyewa
Istilah sewa menyewa sendiri berasal dari bahasa Belanda yaitu huur unver twur, atau bila diartikan atau dipahami secara bebas istilah perjanjian sewa menyewa adalah adalah pemakaian sesuatu dengan membayar uang. Pengertian perjanjian sewa menyewa juga terdapat pada Pasal 1548 KUH Perdata: sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan pada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut bilangan disanggupi pembayarannya.
Dari pemaparan Pasal 1548 KUH Perdata diatas dapat disimpulkan bahwa pihak yang menyewakan menyerahkan kenikmatan atas suatu barang kepada pihak penyewa, dan pihak penyewa membayar sejumlah harga atas barang yang disewanya. Tegasnya hanya sepihak saja yang menyewakan, bukan saling sewa diantara mereka. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa:
Perjanjian adalah antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa
Pihak yang menyewakan menyerahkan kenikmatan atas suatu barang
Kenikmatan atas suatu barang berlangsung untuk jangka waktu tertentu
Dengan pembayaran sejumlah harga tertentu
Definisi lain tentang perjanjian sewa menyewa adalah suatu persetujuan dimana pihak yang satu berkewajiban untuk memberikan kenikmatan atas suatu benda kepada pihak yang lainnya dengan harga yang oleh pihak lain disetujui untuk dibayar. Terdapat unsur-unsur penting dalam perjanjian sewa menyewa, antara lain:
Memberikan kenikmatan atas suatu barang
Dalam sebuah perjanjian sewa menyewa, pihak yang menyewakan barang memberikan kenikmatan atas barang yang menjadi obyek sewa menyewa tersebut, dengan demikian barang yang diserahkan kepada si penyewa bukan untuk dimiliki seperti halnya jual beli, melainkan hanya untuk dipakai atau dinikmati kegunaannya.
Adanya suatu barang
Ketentuan tentang sewa menyewa yang termuat dalam Buku III Bab VII KUH Perdata, berlaku untuk semua jenis sewa menyewa. Yaitu, mengenai sewa menyewa dengan obyek barang tidak bergerak. Tentang barang yang menjadi obyek sewa menyewa ini, oleh karena maksud dari sewa menyewa adalah untuk kemudian hari mengembalikan barang kepada pihak yang menyewakan, maka tidak mungkin ada persewaan barang yang pemakaiannya berakibat musnahnya barang itu, misalnya barang-barang makanan.5
Selama atau dalam jangka waktu tertentu
Dalam Pasal 1548 KUH Perdata pernyataan “waktu tertentu” tidaklah berarti bahwa untuk berlangsungnya sewa menyewa haruslah selalu ada waktu tertentu akan tetapi dalam hal demikian, masing-masing pihak harus selalu dapat menghentikan sewa menyewa tersebut, dengan perhatian tenggang waktu tertentu menurut adat kebiasaan setempat.
Pembayaran suatu harga
Didalam sewa menyewa, harga sewa yang harus dibayarkan oleh penyewa harus berwujud dalm bentuk jumlah uang (pembayaran harga sewa yang paling umum). Lagipula pembayaran cara tersebut adalah yang paling praktis dan mudah dilaksanakan. Didalam sewa menyewa, harga selain dapat diwujudkan kedalam pembayaran harga sewa menyewa perlu diperhatikan pengertian sewa menyewa seperti halnya dengan jual beli dan perjanjian-perjanjian lainnya merupakan suatu perjanjian konsensuil, berarti perjanjian sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya kata sepkaat mengenai unsur pokok yaitu barang dan harga.6
Berdasarkan Pasal 1579 KUH Perdata, pihak yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewanya dengan alasan hendak memakai sendiri barang yang disewakan kecuali jika telah diperjanjikan sebaliknya. Pasal tersebut dapat dipakai sebagai pedoman perjanjian sewa menyewa dengan waktu tertentu. Seseorang yang telah menjualkan barangnya tanpa ketetapan suatu waktu tertentu berhak menghentikan sewa setiap saat asal mengindahkan kebiasaan berakhir sewa menyewa, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik memakai waktu maupun yang tidak memakai waktu, karena waktu tertentu bukan syarat mutlak perjanjian sewa menyewa.
2.2.1 Hak dan Kewajiban Penyewa
Dalam suatu perjanjian sewa menyewa, seorang penyewa mempunyai hak-hak tertentu. Hak-hak tersebut antara lain adalah:
Menerima barang yang disewanya pada waktu dan dalam keadaan seperti yang telah ditentukan di dalam perjanjiannya.
Memperoleh kenikmatan yang tentram atas pemakaian barang yang disewanya, selama sewa menyewa berlangsung.
Apabila selama berlangsungnya sewa menyewa, dalam pemakaian barang yang disewanya ternyata penyewa mendapat gangguan-gangguan dari pihak ketiga berdasarkan atas hak yang dikemukakan oleh pihak ketiga tersebut, maka penyewa berhak untuk menuntut kepada pihak yang menyewakan supaya uang sewa dikurangi sepadan dengan sifat gangguan tersebut dan apabila pihak ketiga sampai menggugat didepan pengadilan, maka penyewa dalam menuntut agar yang menyewakan ditarik sebagai pihak didalam perkara tersebut.
Berhak atas ganti kerugian, apabila yang menyewakan menyerahkan barang yang disewakan dalam keadaan cacat, yang telah mengakibatkan suatu kerugian bagi si penyewa dalam pemakaiannya.
Adapun kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh penyewa antara lain sebagai berikut:
Menurut ketentuan Pasal 1560 KUH Perdata, penyewa harus melakukan dua kewajiban utama, yaitu:
Menggunakan barang yang disewanya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sesuai dengan tujuan yang diberikan kepada barang tersebut menurut perjanjian. Yang dimaksudkan dengan kewajiban untuk menggunakan barang yang disewanya sebagai seorang bapak yang baik adalah sebuah kewajiban untuk menggunakan barang yang disewanya seolah-olah barang tersebut adalah kepunyaan sendiri. Apabila ternyata penyewa menggunakan barang yang disewanya untuk tujuan lain yang menyimpang dari apa yang dimaksudkan didalam perjanjiannya, maka yang menyewakan berhak untuk meminta pembatalan sewa.
Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan.
Penyewa berkewajiban untuk melakukan pembetulan-pembetulan kecil yang biasa terjadi sehari-hari atas barang yang disewanya.
Penyewa bertanggung jawab atas kerusakan barang yang disewanya kecuali apabila penyewa dapat membuktikan bahwa kerusakan tersebut terjadi karena diluar sutau hal kesalahan si penyewa.
Pasal 1393 KUH Perdata mengatur mengenai tempat pembayaran harga sewa. Pasal ini pada intinya menentukan, bahwa pembayaran dapat dilakukan pada:
Tempat yang ditentukan didalam perjanjian
Tempat dimana barang berada waktu perjanjian diadakan
Tempat tinggal pihak yang terpiutang
Tempat tinggal pihak yang berutang
2.2.2 Hak dan Kewajiban yang menyewakan
Didalam suatu perjanjian sewa menyewa, pihak yang berkedudukan sebagai yang menyewakan mempunyai hak-hak sebagai berikut:
Menerima pembayaran harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan dalamm perjanjiannya.
Menerima kembali barang yang disewakan setelah jangka waktu sewa berakhir.
Berhak menuntut pembetulan perjanjian sewa menyewa dengan disertai penggantian kerugian, apabila penyewa ternyata menyewakan terus barang yang disewakan kepada pihak ketiga, kecuali bila diperbolehkan didalam perjanjiannya.
Adapun kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak yang menyewakan antara lain:
Pasal 1550 KUH Perdata menyebutkan, bahwa ada tiga kewajiban utama yang dilakukan oleh yang menyewakan, yaitu:
Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa
Memelihara barang yang disewakan dengan seksama sehingga barang tersebut dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksud
Memberikan kepada penyewa kenikmatan tentram dari barang yang disewakan selama berlangsungnya persewaan. Kewajiban dari pihak yang menyewakan untuk memberikan kenikmatan yang tentram atas barang yang disewakan kepada penyewa, dimaksud sebagai kewajiban untuk menanggulangi atau menangkis tuntutan-tuntutan hukum dari pihak ketiga atas barang yang disewakan. Akan tetapi kewajiban untuk memberikan kenikmatan yang tentram atas barang yang disewakan ini tidak termasuk pengamanan terhadap gangguan-gangguan fisik yang menimpa si penyewa didalam menggunakan barang-barang yang disewakan teruslah ditanggulangi sendiri.
Menyerahkan barang yang disewakan dalam keadaan baik atau terpelihara segalanya kepada penyewa.
Melakukan pembetulan-pembetulan pada barang yang disewanya yang perlu untuk dilakukan, kecuali pembetulan-pembetulan yang menjadi kewajiban si penyewa.
Menanggung segala cacat dari barang yang disewakan yang menghalangi pemakaian barang tersebut, sekalipun pihak yang menyewakan tidak mengetahuinya pada wkatu dibuatnya perjanjian sewa menyewa.
Apabila cacat tersebut telah mengakibatkan kerugian bagi penyewa, maka yang menyewakan berkewajiban untuk memberikan ganti kerugian.
Yang menyewakan tidak diperkenankan selama berlangsungnya sewa menyewa, merubah wujud maupun tatanan barang yang disewakan.
2.2.3 Risiko Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa
Risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu peristiwa yang terjadi diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi obyek dari suatu perjanjian.7
Risiko merupakan suatu akibat dari suatu keadaan yang memaksa (Overmacht) sedangkan ganti rugi merupakan akibat dari wanprestasi.
Pembebanan risiko terhadap obyek sewa didasarkan terjadinya suatu peristiwa diluar dari kesalahan para pihak yang menyebabkan musnahnya barag / obyek sewa. Musnahnya barag yang menjadi obyek perjajian sewa-menyewa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :
Musnah secara total (seluruhnya)
Jika barang yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa musnah yang diakibatkan oleh peristiwa di luar kesalahan para pihak maka perjanjian tersebut gugur demi hukum. Pengertian musnah disini berarti barang yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa tidak lagi bisa digunakan sebagai mana mestinya, meskipun terdaat sisa atau bagian kecil dari barang tersebut masih ada.
Ketentuan tersebut diatur di dalam pasal 1553 KUH Perdata yang menyatakan jika musnahnya barang terjadi selama sewa-menyewa berangsung yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan pada salah satu pihak maka perjanjian sewa-menyewa dengan sendirinya batal.
Musnah sebagian
Barang yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa disebut musnah sebagian apabila barang tersebut masih dapat di gunakan dan dinikmati kegunaanya walaupun bagian dari barang tersebut telah musnah. Jika obyek perjanjian sewa-menyewa musnah sebagian maka penyewa mempunyai pilihan, yaitu :
Meneruskan perjanjian sewa-menyewa dengan meminta pengurangan harga sewa.
Meminta pembatalan perjanjian sewa-menyewa.
2.2.4 Mengulang sewakan dan melepas sewa kepada pihak ke tiga
Pihak penyewa dilarang untuk mengulang sewakan obyek sewa kepada pihak ketiga tapa sepengetahuan dan persetujuan dari pemilik obyek sewa. Mengenai hal ini diatur di dalam pasal 1559 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa:
“Si penyewa, jika kepadanya tidak telah diperzinkan, tidak diperbolehka mengulang sewakan barang, yang disewanya, ataupun melepas sewanya kepada orang lain, atas ancaman pembatalan perjanjian sewa dan pengantian biaya, rugi, dan bunga, sedangkan pihak yang menyewakan, setelah pembatalan itu, tidak diwajibkan mentaati perjanjian ulang sewa.”
Dari ketentuan yang berlaku dari pasal 1559 ayat (1) KUH Perdata tersebut dapat diketahui bahwa:
a. Mengulang sewakan kepada pihak ketiga hanya dapat dilakukn oleh seorang penyewa apabila diperbolehkan di dalam perjanjian sewa-menyewa atau disetujui oleh para pihak.
b. Jika pihak penyewa mengulan sewakan obyek sewa dalam massa sewa maka pihak yang menyewakan obyek sewa dapat melakukan pembatalan perjanjian sewa-menyewa dan menuntut ganti rugi. Akibat pembatalan perjanjian sewa-menyewa tersebut maka perjanjian sewa-menyewa yang dilakukan oleh pihak penyewa dengan pihak ketiga juga batal demi hukum.
Pasal 1559 ayat (1) KUH Perdata tersebut dapat diketahui tentang istilah mengulang sewakan dan melepas sewa. Pada prinsipnya kedua perbuatan tersebut dilarang dilakukan bagi pihak penyewa. Meskipun demikian perbutan-perbuatan tersebut boleh dilakukan oleh penyewa jika sebelumnya telah diperjanjiakan sebelumnya. Berikut ini perbedaan kedua perbuatan tersebut:
Mengulang sewakan yaitu penyewa bertindak sendiri yang menyewakan obyek sewa dalam suatu perjanjian sewa-menyewa yang diadakan olehnya dengan pihak ketiga.
Melepaskan sewa adalah pihak penyewa mengundurkan diri sebagai pihak yang menyewa dan menyuruh pihak ketiga untuk menggantikan kedudukannya sebagai penyewa sehingga pihak ketiga tersebut berhadapan sendiri dengan pihak yang menyewakan obyek sewa.
2.2.5 Berakhirnya Perjanjian Sewa-Menyewa
Perjanjian berakhir secara umum diatur di dalam undang-undang. Penentuan berakhirnya perjanjian sewa-menyewa terkait dengan bentuk perjanjian. Ketentuan hukum perjanjian sewa-menyewa di dalam KUH Perdata membedakan antara perjanjian sewa-menyewa yang dibuat secara lisan dan tertulis. Berikut ini cara-cara berakhirnya perjanjian sewa-menyewa:
Berakhir sesuai dengan batas waktu tertentu yang sudah ditentukan
Perjanjian sewa-menyewa tertulis.
Diatur didaam pasal 1570 KUH Perdata yang berbunyi: “ jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau tanpa diperlukanya suatu pemberitahuan untuk itu”.
Perjanjian sewa-menyewa lisan
Diatur dalam pasal 1571 KUH Perdata yang berbunyi: “jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut tidak berakhir pada waktu yang tidak ditentukan, melainkan jika pihak lain menyatakan bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.”
Batas akhir sewa-menyewa tidak ditentukan waktunya.
Penghentian atau berakhirnya waktu sewa dalam perjanjian sewa-menyewa seperti ini didasarkan pada pedoman bahwa berakhirnya sewa-menyewa pada saat yang dianggap pantas oleh para pihak. Undang-undang tidak mengatur berakhirnya perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu, sehingga penghentianya diserahkan pada kesepakatan kedua belah pihak.8
Berakhirnya sewa-menyewa dengan ketentuan khusus
Permohonan / pernyataan dari salah satu pihak.
Penghentian perjanjian sewa-menyewa hanya dapat dilakukan atas persetujuan dua belah pihak yaitu pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Penghentian karena kehendak para pihak ini bisa dilakukan tanpa putusan dari pengadilan. Di atur di dalam pasal 1579 KUH Perdata yang menyatakan bahwa pemilik barang tidak dapat menghentikan sewa dengan mengatakan bahwa ia akan mengunakan sendiri barangnya, kecuali apabila waktu membentuk perjanjian sewa-menyewa ini diperbolehkan.
Putusan Pengadilan.
Penghentian hubungan sewa-menyewa yang dikehendaki oleh salah satu pihak saja, hanya dapat dilakukan dengan putusan pengadilan seperti yang diatur di dalam pasal 10 ayat (3) PP No. 49 Tahun 1963 jo PP No. 55 Tahun 1981.
Benda obyek sewa-menyewa musnah
Pasal 1553 KUH Perdata mengaur apabila benda sewaan musnah sama sekali bukan karena kesalahan salah satu pihak, maka perjanjian sewa-menyewa gugur demi hukum. Dengan demikian perjanjian berakhir bukan karena kehendak para pihak melainkan karena keadaan memaksa (Overmacht).
pak atau mas tulisan bersama kang shin nya sumpah ganggu banget
BalasHapus